Minggu, 26 Februari 2012

PENDIDIKAN NON FORMAL

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Sasaran

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Fungsi

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Jenis

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A, Paket B dan Paket C, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.


Satuan pendidikan penyelenggara

Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.


Pendidikan non-formal sebagai bagian dari system pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat terutama masyarakat sasaran pendidikan non-formal. Sasaran pendidikan non-formal yang semakin luas yang tidak hanya sekedar berhubungan dengan masyarakat miskin dan bodoh (terbelakang, buta pendidikan dasar, drop out pendidikan formal), akan tetapi sasaran pendidikan non-formal terus meluas maju sesuai dengan perkembangan ilmu  pengetahuan dan teknologi serta perkembangan lapangan kerja dan budaya masyarakat itu sendiri. Mengingat sasaran tersebut, maka program/kegiatan pendidikan non-formal harus terus diperluas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan masyarakat. Pada prinsipnya perluasan kegiatan/program pendidikan non-formal harus sejalan dengan pemikiran baru tentang konsep belajar (learning), di mana belajar yang terkesan hanya berlangsung di sekolah (formal) kurang tepat lagi dan mulai bergeser ke luar setting persekolahan. Belajar harus dipandang sama dengan “living, and living itself is a process of problem finding and problem solving”. We must learn from everything we do, we must exploit every experience as a learning experience. Every institution in our community—government on non-government agencies, stores, recreational places, organizations, churches, mosques, fields, factories, cooperatives, associations, and the like becomes resources for learning, as does every person we access to parent, child, friend, service, provider, docter, teacher, fellow worker, supervisor, minister, store clerk, and so on and on, Learning means making use every resources-in or out of educational institutions—for our personal growth and development. Even the word is regarded as a classroom.

Sabtu, 25 Februari 2012

PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP (PLH)

 PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP ( PLH )



Hubungan Manusia dengan Lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan bahkan saling mempengaruhi. Lingkungan Hidup yang berkualitas akan berpengaruh baik pada manusia, sebaliknya Lingkungan Hidup yang tidak berkualitan akan memberi dampak buruk terhadap manusia.

Kualitas Lingkungan Hidup sangat banyak dipengaruhi oleh ulah manusia, beberapa kerusakan Lingkungan Hidup yang terjadi saat ini antara lain seperti penggundulan hutan, pencemaran udara, pencemaran air, berkurangnya kesuburan tanah, menipisnya lapisan ozon di atmosfer dan gejala global warming semua terjadi akibat ulah manusia.


Akibat yang terjadi manakala terjadi Pencemaran dan kerusakan Lingkungan Hidup mulai terasa oleh kita saat ini. Banyak musibah banjir di beberapa daerah, tanah longsor, kekeringan di musim kemarau dan suhu bumi yang semakin panas.

Mengingat demikian besar dampak dari Lingkungan hidup yang tidak berkualitas maka di institusi pendidikan diselenggarakan Pendidikan Lingkungan Hidup.

Dasar Hukum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH):

  1. UU RI No 20 Tahun 2007, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
  2. UU RI No 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah (Pemda)
  3. UU RI No 23 Tahun 1997, tentang Pengeloaan Lingkungan Hidup
  4. PP RI No 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan
  5. PP RI No 27 Tahun 1995, tentang Analisi Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)
  6. Kesepakan bersama Kementrian Negara Lingkungan Hidup dengan Departemen Pendidikan Nasional Kep 07/MenLH/2005 dan No 05/VI/KB/2005 tentang Pelaksanaan Pendidikan Lingkungan Hidup.
Salah satu gambar kegiatan tentang PLH :

Pada tanggal 5 Juni biasa diperingati sebagai hari lingkungan hidup, momentum ini cenderung diperingati sebagai titik pijak untuk menyadarkan umat manusia memelihara lingkungan hidup. Hal terakhir itu tentu lebih relevan lagi diterapkan pada generasi muda. Salah satu solusi untuk itu adalah melalui pendidikan lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan itu tentu sangat urgen, mengigat semakin parahnya kerusakan lingkungan hidup yang menyebabkan menurunnya kwalitas kehidupan.
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya.
Kerusakan lingkungan hidup terjadi karena adanya tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung sifat fisik dan/atau hayati sehingga lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (KMNLH, 1998). Kerusakan lingkungan hidup terjadi di darat, udara, maupun di air.
Data Departemen Kehutanan menunjukkan lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15,11 juta hektar dan di dalam kawasan hutan 8,14 juta hektar. Hutan rusak dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah mencapai 11,66 juta hektar dan lahan bekas HPH yang diserahkan ke PT. Inhutani 2,59 juta hektar. Mangrove yang rusak dalam kawasan hutan telah mencapai luasan 1,71 juta hektar dan di luar kawasan hutan sebesar 4,19 juta hektar. Total hutan yang rusak sudah mendekati angka 57 juta hektar. Ironisnya, kapasitas lembaga yang bertanggung jawab merehabilitasi hutan dan lahan dengan inisiatif pemerintah tak cukup kuat menangani kerusakan yang terjadi.
Hal itu juga diperparah dengan kenyataan bahwa melorotnya sumber air, permukaan air bawah tanah, daerah-daerah rawa-rawa dan teluk sehingga tidak meratanya penyebaran air yang ketiadaannya menjadi pertanda bagi kematian dan kehancuran. Fakta Gangguan layanan air minum kembali dialami ratusan ribu warga Jakarta. Warga yang menjadi pelanggan PT Aetra dan PT Palyja hanya dapat merasakan pasokan air pada pukul 02.00-05.00. Itu pun dengan kondisi air yang keruh dan beraroma tidak sedap. komisaris PT Palyja, Bernard Lafrogne menjelaskan, gangguan terjadi karena saluran air di Curug banyak tersumbat pasir. Penurunan intensitas hujan di Bogor dalam beberapa hari terakhir juga menjadi faktor penyebab hal itu.
Akhirnya, benda yang semula bukan sesuatu yang susah untuk diperoleh menjadi suatu yang sangat susah dalam pemenuhannya. Akibatnya, Fenomena membeli air jerigen demi pemenuhan dahaga, bukan tidak mungkin lambat laun akan menghasilkan mafia air. Ketika musim hujan, harga air akan turun, tetapi pada kemarau panjang, harganya meninggi karena harga sudah ditentukan.
Dari permasalahan di atas, upaya pendidikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap umat manusia, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan lingkungan.
Pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya peningkatan kualitas kehidupan manusia secara bertahap dengan memerhatikan faktor lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan kesepakatan hasil KTT Bumi di Rio de Jeniro tahun 1992. Di dalamnya terkandung 2 gagasan penting mengenai kebutuhan dan keterbatasan. Manusia yang menjadi subjek berkembang yang harus memenuhi semua kodrat alaminya untuk menopang kehidupan dengan memahami kelangkaan dan keterbatasan lingkungan dalam upaya memikirkan masa depan.
Realisasi segala upaya itu harus didukung oleh pihak yang terkait langsung dengan lingkungan tersebut. Manusia, secara sadar dan bertahap melaksanakan dan menjalankan konsep pembangunan berkelanjutan.

Sabtu, 07 Januari 2012

Pendidikan Karakter

Tentang Pendidikan Karakter

 Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.

Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen olehsoft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimanapendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaantersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dankomponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta.  Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
  1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
  2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
  3. Menunjukkan sikap percaya diri;
  4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
  5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
  6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
  7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
  8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
  9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
  10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
  11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
  12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
  13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
  14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
  15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
  16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
  17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
  18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
  19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
  20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
  21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.

Selasa, 03 Januari 2012

Pendidikan anak jalanan ( pondok cerdas katalonia )

Di dalam ruangan berukuran 4x4 meter ini, cita-cita anak-anak jalanan mulai dirajut. Pendidikan gratis yang diberikan oleh Pondok Cerdas Katalonia kepada lebih kurang 141 murid bertujuan untuk memberikan kesempatan mereka untuk mengenyam pendidikan.

Alasan mengapa Rospita Sinaga, S.Th membuka sebuah sekolah gratis yang diperuntukkan bagi anak-anak jalanan dan yatim piatu ini adalah kerinduannya yang besar untuk memberikan pendidikan kepada mereka yang memiliki kesempatan langka untuk mengenyamnya.
Dari Peron Hingga Musala
Perjalanan panjang sekolah gratis ini dimulai sekitar tahun 90-an. Saat itu Rospita Sinaga bersama almarhum Pendeta Lumix turun ke jalan untuk melakukan pelayanan. Menyelami kehidupan masyarakat miskin membuat hati Rospita tergugah, terlebih ketika melihat anak-anak yang seharusnya mengenyam bangku pendidikan, terpaksa membanting tulang membantu orang tua mencari nafkah, membuat Rospita bertekad untuk melakukan sesuatu untuk mereka.
Tekad itu diwujudkan Rospita setelah ia menyelesaikan studinya di Yogyakarta. Dengan mandiri, Rospita mulai melakukan kegiatan belajar darurat di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. “Pertama kali, sekitar tahun 2003, saya mulai mengadakan belajar darurat dengan jumlah murid sekitar 35 anak,” ucap Rospita. Kenapa disebut belajar darurat? ”Karena kondisinya kami memang belajar di peron (ruang tunggu) jalur 4 Stasiun Manggarai,” jelas Rospita. Bahkan ia mengaku tidak jarang diterjang petugas Ketentraman dan Ketertiban (Trantib) yang bekerja menertibkan peron, “Kalau ada Trantib saya diterjang. Tapi saya mengerti mereka juga menginginkan kebersihan, masa ruang tunggu dijadikan tempat belajar, makanya kami paham dan pergi.”
 Murid-murid Rospita adalah anak-anak jalanan yang biasanya berdagang, mengamen, menyapu kereta, ataupun anak-anak para pedagang stasiun. “Karena siang hari mereka bekerja, kami mulai belajar dari jam 8 sampai 10 malam,” tambah Rospita. Tidak dipungkiri, awalnya orangtua anak-anak jalanan ini pun sempat takut kalau Rospita ingin mengajarkan ajaran agama tertentu kepada anak-anak mereka. Tapi setelah melihat pelajaran yang diajarkan adalah matematika, bahasa Inggris, dan ilmu lainnya, lama kelamaan Rospita akhirnya diizinkan untuk menggunakan musala sebagai tempat belajar.
“Semenjak pindah ke musala, jumlah murid belajar darurat kian bertambah, hingga akhirnya tidak muat lagi untuk ditampung di musala,” ungkap anak ke-6 dari enam bersaudara ini. Oleh sebab itu, kegiatan belajar darurat akhirnya dipindahkan ke rumah seorang Ketua RT di Gang Reang (sebuah pemukiman pemulung di sekitar Stasiun Manggarai). “Semenjak dipindahkan ke daerah pemulung, kami mengganti kegiatan belajar darurat ini menjadi sekolah darurat,” jelas Rospita. Namun karena jumlah murid terus bertambah, sekolah darurat sempat pindah ke beberapa rumah warga, hingga akhirnya terpaksa tergusur setelah pemilu berlangsung, “Setelah pemilu kami pun tergusur, karena sudah tidak ada lagi rumah-rumah liar di sepanjang rel kereta api.”
Dukungan dari Wolrd Share
Semenjak tergusur, mimpi Rospita untuk mengubah nasib anak-anak jalanan sempat kandas di tengah jalan, tapi komitmen wanita kelahiran 3 Maret 1970 ini tidak pernah padam. Setelah bertemu dengan Won Eung Jung dari World Share, sebuah lembaga yang membantu anak-anak yatim piatu di 21 negara, mereka bersedia untuk membantu Rospita untuk membangun sebuah sekolah untuk anak jalanan.
“Ternyata sudah cukup lama World Share melihat kegiatan yang saya lakukan di Stasiun Manggarai (mengajar di peron -red). Oleh sebab itu setelah saya bertemu dengan Ms Won yang kagum dengan pelayanan kami, mereka pun akhirnya bersedia untuk menyediakan sebuah tempat belajar yang layak,” tambahnya.
Sebuah rumah dengan tiga buah ruangan berukuran 4x4 meter yang berada di Jalan Manggarai Utara VI, Blok F 10, Jakarta Selatan, kini menjadi tempat menuntut ilmu anak-anak Sekolah Darurat. “Bahkan ketika rumah tersebut tengah direnovasi, kami sudah memulai proses belajar- mengajar di sebuah taman yang tepat berada di depan rumah tersebut,” tutur Rospita, yang bahagia melihat besarnya antusias anak-anak setelah mendengar sekolah darurat yang berganti nama menjadi Pondok Cerdas Katalonia ini kembali dibuka.

Ket: - Inilah foto-foto kondisi saat Rospita masih mengajar (belajar darurat) anak-anak jalanan di peron Stasiun            Manggarai, Jakarta Selatan.        
Mendidik dengan Hati
Pondok Cerdas Katalonia dibagi menjadi tiga kelas: Taman Kanak-kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini  (PAUD) yang diperuntukkan bagi anak-anak jalanan, pengamen, pemulung, dan yatim piatu. Tempat ini juga membuka kelas bimbingan belajar yang diberikan kepada murid-murid umum yang membutuhkan bantuan dalam mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris. Proses belajar- mengajar dilakukan pada hari Senin hingga Jumat yang dibagi kedalam beberapa sesi, yakni TK dan PAUD pada pukul 10.00 – 10.30, serta bimbingan belajar pada pukul 14.00 - 15.40 dan pukul 18.00-20.00 WIB.
Hingga saat ini terdapat 20 orang murid yang terdaftar di TK, 20 murid di PAUD, dan 101 murid di bimbingan belajar. “Untuk TK dan PAUD, kami sengaja membatasi hanya 20 orang anak. Hal ini dikarenakan kami harus mempertimbangkan kualitas dibandingkan kuantitas mereka,” ungkap Rospita. Ia menjelaskan latar belakang anak-anak TK dan PAUD yang mayoritas adalah anak-anak jalanan membuat dirinya dan 11 guru pengajar lainnya harus melakukan pendekatan khusus kepada mereka. Setiap anak adalah pribadi yang unik. Walaupun anak-anak ini mengalami kesulitan dalam menangkap pelajaran, namun Rospita optimis kalau mereka memiliki kelebihan yang lain, dan inilah yang digali di Pondok Cerdas Katalonia. “Kami belajar melihat kekurangan dan kelebihan anak-anak dari kacamata berbeda. Merangkul anak-anak yang kurang mendapatkan kasih sayang, sehingga mereka bisa belajar untuk saling menghormati dan menyayangi. Seperti salah satu murid yang bernama Aris (9 tahun), dulu dia sempat takut bertemu dengan orang lain, tapi sekarang ia sudah bisa membaca dan menulis, dan yang paling penting adalah dia sudah berani untuk berkomunikasi dengan orang lain,” terang Rospita.
Ditanya bagaimana cara pondok ini menyeleksi para murid, Rospita menuturkan bahwa ia dan pengajar lainnya tidak ragu-ragu melakukan survei kepada calon anak muridnya, “Kami mendatangi rumah mereka, dan karena sekolah ini gratis, kami harus tepat sasaran.”
Dalam kegiatan belajar-mengajar, para pengajar tidak pernah lupa untuk selalu memberikan pelajaran budi pekerti sejak para murid mulai bergabung di Pondok Cerdas Katalonia. “Anak-anak ini tidak hanya cerdas secara intelektual tapi juga harus cerdas emosionalnya. Sehingga bukan orang-orang pintar yang akan menghancurkan bangsa ini, tapi justru merekalah yang akan mambangun bangsa ini. Mereka bisa berguna untuk orang lain, itu sudah membuat saya cukup bangga,” tegas Rospita yang berharap anak-anak didiknya bisa meneruskan perjuangannya kelak.
Selain ilmu pendidikan, setiap hari Jumat anak-anak juga bisa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler menari. “Bahkan rencananya tahun depan kami akan membuat kegiatan menjahit disini,” tambah Rospita. 

 Situasi belajar mengajar terasa hangat. Dengan jumlah murid tidak terlalu banyak, para pengajar bisa intens membimbing para murid dengan maksimal. Pondok Cerdas Katalonia memang tidak hanya mengejar kuantitas, tapi juga kualitas anak didik mereka.
Inilah Surga Saya
Untuk membiayai operasional pondok yang mencapai lebih kurang delapan juta rupiah per bulan, Rospita mengaku harus menyisihkan gajinya sebagai guru Bimbingan Konseling (BK). “Saya bekerja sebagai guru konseling di beberapa sekolah. Bersama Bapak Okky, kami saling membantu dalam memenuhi biaya operasional pondok,” tegasnya.
Maka tidak heran walaupun sudah bekerja beberapa tahun, ia mengaku belum mampu membeli kendaraan pribadi untuk dirinya sendiri. “Kalau teman-teman sudah punya motor atau mobil, saya tetap mencintai angkutan umum,” kelakarnya sambil tersenyum.
Selain dibantu oleh World Share dalam sarana pendidikan, Rospita juga didukung oleh beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi Jakarta yang bersedia menjadi sukarelawan pengajar di Pondok Cerdas Katalonia. “Ini adalah hari pertama saya mengajar di Pondok Cerdas Katalonia. Saya melihat antusias anak-anak di sini untuk belajar sangat besar, dan itu semakin membuat saya bersemangat untuk berbagi ilmu dengan mereka,” ucap Sari, salah satu mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang mengajar TK dan PAUD.
Selain harus hidup hemat dan sibuk mengurus Pondok Cerdas Ceria yang berada dalam Yayasan Berkat Alfa Omega Indonesia Katalonia yang didirikannya, Rospita tidak pernah merasa menyesal telah mewujudkan mimpinya tersebut. “Ini adalah surga bagi saya,” tuturnya mantap. Ia menambahkan, bisa berbuat sesuatu untuk anak-anak ini merupakan kebahagiaan yang tidak bisa terbalaskan dengan apapun juga.
 

pendidikan anak usia dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

Satuan pendidikan penyelenggara